Eksistensi Sampan Sebagai Alat  Transpotasi Air Masyarakat Tepian Sungai Kapuas

Eksistensi Sampan Sebagai Alat Transpotasi Air Masyarakat Tepian Sungai Kapuas

 



 Sampan menjadi alat tranpotasi bersejarah bagi masyarakat Pontianak dan Kalimantan Barat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai-sungai besar yang melintasi Kalimantan Barat seperti, Sungai Kapuas, Sungai Landak, dan sungai-sungai lainnya. Sampan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak dulu, karena Sampan menjadi alat transpotasi yang paling efektif digunakan untuk menghubungkan aktivitas sosial menyeberangi sungai.

      Sampan tidak hanya digunakan oleh masyarakat yang tinggal di tepian sungai-sungai besar seperti Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Masyarakat yang tinggal di daerah perkampunganpun juga menggunakan Sampan sebagai alat transpotasi guna mendukung aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Sampan adalah perahu kecil yang terbuat dari kayu, masyarakat Kalimantan Barat biasanya menggunakan Kayu Belian untuk membangun badan Sampan, karena memang kayu ini memiliki tekstur yang keras dan tidak mudah busuk terkena air. Selain Kayu Belian, kayu-kayu lain juga digunakan menjadi bagian dari badan sampan, kayu-kayu tersebut diantaranya adalah kayu mahoni, kayu nangka, kayu sengon, dan kayu-kayu lainnya. Namun seiring perkembang zaman, saat ini juga banyak Sampan yang dibuat dengan menggunakan bahan baku viber.

      Pada awalnya, Sampan digunakan sebagai alat transpotasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari, karena memang daerah Kalimantan Barat merupakan daerah dengan keberadaan sungai yang sangat banyak. Sampan digunakan untuk melakukan hubungan dengan masyarakat yang berada diseberang sungai. Selain itu, Sampan digunakan untuk mencari ikan, berburu, dan pergi ke kebun yang terletak di tengah hutan. Hidup menyusuri sungai dalam melakukan aktivitas sosial dan ekonomi sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

      Penggunaan Sampan pada zaman dulu juga sebagai penunjang karena dulu daerah Kalimantan Barat masih berupa hutan belantara, dan dengan menggunakan Sampan masyarakat bisa memangkas waktu perjalanan yang lebih singkat daripada harus melakukan perjalanan darat membelah hutan. Sampan dapat dikendalikan dengan menggunakan dayung yang terbuat dari kayu yang masing-masing ujungnya dibuat pipih agar bisa mendorong air dan membuat Sampan bergerak. Bentuk dayung dibuat dengan selera pemiliknya, karena selain dayung yang mempunyai pipih di kedua sisinya, ada juga dayung yang dibuat pipih pada salah satu sisi saja dan sisi sebaliknya digunakan sebagai pegangan untuk mengayunkannya ke dalam air. Selain berfungsi sebagai penggerak Sampan agar dapat berjalan diatas air, dayung juga berfungsi sebagai alat pengendali Sampan agar Sampan dapat berjalan sesuai dengan kehendak pengemudinya.

Seiring berkembangnya zaman dan munculnya teknologi, saat ini Sampan banyak yang sudah menggunakan mesin perahu yang di pasang di bagian belakang. Fungsi mesin ini dapat mendorong perahu berjalan cepat diatas air dan tidak memerlukan tenaga manual seperti menggunakan dayung. Dengan menggunakan mesin, Sampan bisa berjalan dengan cepat diatas air dan dapat dengan cepat menjangkau tempat tujuan. 

Pemanfaatan Sampan sebagai alat transpotasi penyeberangan Sungai Kapuas di Pontianak telah dilakukan sejak lama. Hal ini menjadi eksistensi Sampan yang terus bertahan dan tak lekang oleh perkembangan zaman. Meskipun di Kota Pontianak sudah dibangun jembantan yang saling menghubungkan, Sampan tetap menjadi sarana transpotasi yang terus dijaga kelestariannya oleh masyarakat di sekitar tepian Sungai Kapuas. Dengan modernisasi menggunakan mesin perahu, Sampan saat ini juga menjadi sarana transpotasi air  yang menunjang perekonomian masyarakat karena Sampan bisa disewakan untuk sarana transpotasi wisata menyusuri Sungai Kapuas.

     Hampir setiap masyarakat yang tinggal di tepian Sungai Kapuas dan Sungai Landak, sebagian banyak dari mereka mempunyai Sampan, baik untuk digunakan sendiri sebagai alat tranpotasi air pribadi atau untuk disewakan dengan membuka jasa layanan penyeberangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hampir setiap saat ketika siang hari kita dapat melihat lalu lalang Sampan yang melintas baik di Sungai Kapuas maupun Sungai Landak. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi Sampan tidak pernah pudar digunakan oleh masyarakat tepian sungai.

    Dengan semakin kreatifnya masyarakat saat ini, Sampan yang dulunya identik dengan warna alami kayu. Saat ini Sampan sudah dimodifikasi dengan menambahkan atribut-atribut yang memperindah Sampan, seperti mengecatnya menjadi warna-warni atu menambahkan tempat duduk yang terbuat dari busa. Sehingga dapat menambah kenyamanan penumpang ketika menaiki Sampan.

Sampan sebenarnya bernnama perahu Tiongkok yang terbuat dari kayu dan memiliki ukuran panjang sekitar 3-6 meter dan lebar 1-1 1/5 meter, namun bisa juga lebih besar sesuai kebutuhan orang yang membuat Sampan. Di Sungai Kapuas dan Sungai Landak saat ini Sampan menjadi salah satu sumber ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Penyedian jasa transpotasi penyeberangan dilakukan sebagai mata pencaharian. Jasa pennyeberang ini juga terbilang murah, hanya sekitar Rp 10.000 sampai Rp 15.000/orang yang ingin menggunakan jasa mereka untuk menyeberang Sugai Kapuas dan Sungai Landak.



Penulis    : Zakaria Effendi
publikasi : 12 Maret 2021




Sejarah Singkat Republik Langfang, Republik Pertama Di Dunia Yang Terletak Di Mandor,  Kalimantan Barat

Sejarah Singkat Republik Langfang, Republik Pertama Di Dunia Yang Terletak Di Mandor, Kalimantan Barat

Republic Of Langfang adalah Republik pertama di dunia yang berada di pelosok Kalimantan Barat, Republik Langfang bertelak di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat. Monumen sejarah yang menjadi peninggalan dari republik ini adalah sebuah makam dengan nisan tua dengan keterangan dari tulisan mandarin. Menurut cerita warga setempat makam ini merupakan makam dari Presiden pertama Langfang. Republik Langfang merupakan sebuah kongsi Tionghoa yang bertahan paling lama, yaitu sejak tahun 1777 sampai dengan tahun 1884. Banyak versi yang mengisahkan berakhirnya kekuasaan Republik Langfang di Mandor, diantaranya disebabkan oleh infansi yang dilakukan oleh Belanda untuk menguasi wilayah Mandor dan sekitarnya di Kalimantan Barat.

       Awal kisah berdirinya Republik Langfang tidak terlepas dari peran kerajaan Melayu di Kalimantan Barat. Pada awalnya para Sultan Kerajaan di Kalimantan Barat mendantangkan pekerja dari China pada abad ke-18 untuk bekerja pada pertambangan emas di Mandor. Keberadaan orang-orang China di Mandor sendiri disebabkan atas usaha yang dilakukan oleh Raja Panembahan Mempawah Opu Daeng Manambon. Selain itu, sekitar tahun 1750 M Sultan Sambas yaitu Sultan Abubakar Kamalludin juga mendatangkan orang-orang China untuk pertama kali diwilayah pertambangan emas Kesultanan Sambas yaitu di daerah Montraduk, Seminis dan Lara.

       Nama Republik Langfang sendiri didirikan sesuai dengan nama pemimpinya yaitu Lo Fong Pak yang pertama kali berlayar di usia 34 tahun, dia datang ke Kalimantan Barat saat mulai ramainya orang-orang mencari emas. Dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam dan kemudian berlabuh di Kalimantan Barat tepatnya di daerah Kesultanan Sambas pada usia ke 41 tahun pada tahun 1774 M.

       Seiring bergantinya Kesultanan di Sambas yang menyebabkan para pekerja pertambanagan emas di Kesultanan Sambas semakin banyak, akhirnya mereka membuat kelompok berdasarkan wilayah pertambangan masing-masing. Pada sekitar tahun 1768 M, kelompok-kelompok pekerja China mendirikan sebuah perkumpulan usaha tambang masing-masing yang disebut dengan istilah Kongsi. Pada awalnya kongsi yang didirukan oleh para pekerja pertambangan emas menyatakan tunduk kepada Sultan Sambas namun kongsi-kongsi tersebut diberikan keleluasaan oleh Sultan Sambas pada saat itu untuk mengatur kongsinya masing-masing. Untuk masalah hasil dari pertambangan emas sendiri disepakati bahwa seluruh kongsi wajib menyisihkan hasil tambang secara rutin untuk di berikan kepada Kesultanan Sambas sebagai pemilik kekuasaan didaerah itu. Pada saat itu Sultan Sambas menerima bagian kurang lebih 1 kg emas murni setiap bulan dari hasil kong-kongsi tersebut.

     Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1770 M terjadi gejolak antara kongsi-kongsi pekerja China dan Kesultanan Sambas. Gejolak tersebut dilatarbelakangi oleh penolakan para kongsi pekerja China untuk memberikan bagian dari hasil pertamabang emas sebanyak 1 kg emas kepada Kesultanan Sambas seperti yang sudah rutin di lakukan sebelumnya. Para pekerja China hanya bersedia memberikan setengah kilogram emas ssetiap bulan, atau setengah dari kesepakatan sebelumnya. Selain masalah pembangkangan dalam perubahan bagi hasil, orang-orang kongsi China pada saat itu juga beberapa kali melakukan pembunuhan terhadap orang-orang dilingkungan Kesultanan Sambas yaitu orang-orang Dayak yang bertugas untuk mengawasi pertambangan emas atas perintah Sultan Sambas.

      Dengan kejadian pembangkangan yang dilakukan oleh para pekerja pertambangan yang tergabung dalam kongsi-kongsi, akhirnya Sultan Sambas pun marah dan mengerahkan pasukan untuk mendatangi daerah-daerah pertambangan dan terjadi pertempuran antara kongsi-kongsi dan pasukan Kesultanan Sambas. Pertempuran ini dimenangkan oleh pasukan dari Kesultanan Sambas dan membuat kongsi-kongsi ketakutan dan mau mengembalikan kesepakatan bagi hasil tambang emas seperti semula, yaitu dengan memberikan 1 kg emas murni setiap bulan untuk Kesultanan Sambas.

      Adapun versi lain yang menceritakan sejarah terjadinya gejolak antara Kesultanan Sambas dengan kongsi di awali dengan kerjasama antara Kesulatanan Sambas dan Kesultanan Pontianak. Kesultanan Pontianak terus ditekan untuk memusuhi Kongsi sehingga Kerajaan-Kerajaan mengirimkan pasukan-pasukan untuk menyerang Kongsi pekerja China di daerah-daerah pertambangan emas. Pada akhirnya Kongsi-Kongsi ini berjumlah sangat banyak, sekitar tahun 1770 M diperkirakan jumlah Kongsi mencapai 10 Kongsi di wilayah Kesultanan Samban. Dari 10 Kongsi tersebut terdapat dua Kongsi yang paling kuat yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong. Pada Tahun 1774 M terjadi pertempuran anatara keduanya  yang pada akhirnya dimenangkan oleh Kongsi Thai Fong.

     Pada tahun 1776 M terdapat 14 Kongsi pekerja tambang emas China, 12 Kongsi berpusat di Montraduk dan 2 Kongsi lagi di wilayah Panembahan Mempawah yang berpusat di daerah Mandor. Dua Kongsi ini menyatukan diri dalam wadah lembaga yang bernama Hee Soon, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat mereka dari ancaman pertempuran sesama Kongsi seperti yang sudah pernah terjadi antara Kongsi Tahi Kong dan Lang Fong pada tahun 1774 M.  salah satu Kongsi dari 14 Kongsi tersebut adalah Kongsi Langfong yang didirikan kembali oleh Long Fong Pak dengan dia sendiri yang menjadi ketuanya.

     Setahun setelah itu, pada tahun 1777 M Lo Fong Pak memindahkan lokasii Kongsi Lanfong ke lokasi lain dimana lokasi Kongsi Lanfong yang baru tidak lagi di wilayah Kesultana Sambas, akan tetapi di wilayah Panembahan Mempawah atau tepatnya di daerah Mandor (Tung Ban Lut). Walaupun mempunyai kelompok induk yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi  ini tetap menyatakan tunduk dibawah Kesultanan Sambas dan Panembahan Mempawah. Namun Kongsi-Kongsi diberi wewenang sendiri untuk mengangkat ketua dari kelompok mereka yang kemudian bertugas mengatur pertambangan dan wilayah sesuai yang dengan yang sudah disepakati.Long Fong Pak di Mandor kemudian menyatukan orang-orang Hakka di wilayah mereka untuk bergabung dalam organisasi  San Shin Cing Fu karena pada saat itu banyak orang-orang China yang berasal dari Suku lain.

      Singkat cerita dengan  berkuasanya Sutan Syarid Abdurahman di muara Sungai Lndak membuat Kongsi Lanfong bergantung pada aktivitas di muara sungai itu, sehingga hal ini membuat Lo Fong Pak menjadi lebih dekat dengan Kesultanan Pontianak daripada dengan Panembahan Mempawah meskipun daerah Kongsi mereka di bawah naungan Panemabahan Mempawah. Pada tahun 1789 M Sultan Pontianak dengan didukung Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan. Untuk mendukung serangan ini, Sultan Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Langfong) untuk ikut serta dalam pasukan Kesultanan Pontianak untuk menyerang Panembahan Mempawah. Dalam pertempuran ini Panembahan Mempawah kalah kemudian pergi meninggalkan Mempawah dan menetap didaerah Karangan. Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak menjadi semakin dekat dengan Kesultanan Pontianak. Pada akhirnya Kongsi Langfong diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengatur wilayah Kongsinya namun tetap dibawah naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak pimpinan dari Kongsi Langfong berusia 57 tahun.

      Cara pemilihan pemimpin yang dilakukan oleh Kongsi Langfong menceriminkan sebuah kemajuan berfikir mereka dengan menggunakan metode suara terbanyak dalam pemilihan untuk menentukan siapa yang menjadi ketua dari mereka. Menurut pemahan saat ini hal seperti itu adalah sebuah cara demokratis dalam mennentukan pilihan dalam suatu kelompok orang.  Seorang sejarawan Belanda yang bernama J.J. Groot yang menerjemahkan tulisan Yap Siong Yoen atau anak tiri dari kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir. Dia mengiterpretasikan bahwa apa yang yang dilakuakn Kongsi Lanfong (Lanfang) terlalu jauh kemudian Lanfang diartikan sebagai Republik Lanfang.

     Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui system pemilihan umum untuk menjabat sebagai ketua daerah Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar Ta Tang Chung Chang yang berate Kepala daerah otonomi dalam bahasa Mandarin. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebut bahwa posisi ketua dan wakil ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka (sebuah suku dari bangsa Tionghoa).

    Selain monumen berupa Makam tua yang menjadi peninggalan sejarah dari keberadaan Republik Langfang. Hingga saat ini masih ditemukan sisa-sisa pemukiman dari Kongsi Lanfang dan juga masih ditemukan keturunan-keturunan dari orang-orang yang bergabung dalam Kongsi tersebut. Selain itu, keberadaan bekas tambang emas berupa padang pasir putih menjadi saksi bisu yang mengisahkan betapa dahsyatnya pertambangan yang pernah dilakukan di daerah Mandor. Padang pasir tersebut merupakan sebuah fenomena broken forest dari cara pertambang tradisonal yang dilakukan oleh Kongsi-Kongsi China di masa lalu. Wilayah ini sangat sulit untuk di restorasi karena penggalian tanah yang terlalu dalam, sehingga permukaan sampai beberapa meter kedalam merupakan bebatauan dan pasir yang tandus. Sehingga sangat sulit untuk memperbaiki kkerusakan alam akibat peambangan emas yang pernah dilakukan pada zaman dulu.

       Meskipun menjadi monumen kerusakaan alam yang memprihatinkan, bekas tambang emas ini juga menciptakan pemandangan yang menajubkan. Hamparan pasir pustih yang luas di tengah hutan menjadikan daerah ini seperti padang pasir yang tersembungi di dalam hutan. Di bekas tambang emas ini juga terdapat danau kecil yang terbuat dari bekas galian yang terisi air hujan dan aliran mata air dari celah-celah bebatuan. Sehingga bekas tambang emas di mandor juga bisa dijadikan destinasi wisata sejarah dan pembelajaran bagi akademisi-akademisi yang mengkaji tentang hutan dan pertanahan. Karena bekas tambang emas seperti ini membutuhkan solusi dan menjadi ladang praktik untuk menemukan cara merestorasi atau memperbaiki. Keberadaan bekas tambang emas ini tidak jauh dari letak monumen makam Presiden pertama Langfang. Bekas tambang emas ini terletak disekitar Taman Makam Pahlawan Mandor.



Penulis : Zakaria Effendi 
Publish : 1 Maret 2021
 

Sungai Kapuas Punye Cerite

Sungai Kapuas Punye Cerite

 


Sungai Kapuas adalah sungai yang menjadi ikon Provinsi Kalimantan Barat dan juga kota Pontianak. Sungai Kapuas adalah sungai terpanjang di Kalimantan Barat, bahkan di Indonesia dengan panjang 1.143 km yang membetang dari hulu hingga ke hilir. Sungai Kapuas Punye Cerite sendiri menjadi salah satu lirik  lagu yang diciptakan oleh Paul Putra Frederick dengan judul Aek Kapuas. Secara bahasa Sungai Kapuas Punye Cerite berarti Sungai Kapuas Punya Cerita, namun kalimat ini mempunyai makna mendalam yang menggambarkan keindahan Sungai Kapuas dan sekitarnya.

        Sungai Kapuas selalu menjadi destinasi yang wajib untuk dikunjungi, baik oleh masyarakat lokal kota Pontianak dan Kalimantan Barat. Sungai Kapuas menjadi salah satu tempat yang wajib di kunjungi untuk orang-orang dari luar daerah Kalimantan Barat, bahkan luar negeri. Karena letaknya yang strategis dan melintasi kota Pontianak, Sungai Kapuas sangat mudah untuk diakses. Dengan mengunjungi ikon suatau daerah yang kita kunjungi maka kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga.

       Nongkrong di tepian Sungai Kapuas sangat asik dilakukan di sore hari sambil melihat keindahan langit Khatulistiwa saat Matahari mulai terbenam. Apalagi saat ini Pemerintah kota Pontianak juga sedang membangun destinasi wisata di Sungai Kapuas, dengan menata pinggiran Sungai Kapuas menjadi semakin rapi dan bagus. Pemerintah kota Pontianak juga sudah membangun Waterfront atau Taman Kota di tepian Sungai Kapuas, sehingga tempat ini biasa digunakan sebagai wahana berkumpul bersama keluarga, kerabat dan sahabat sambil menikmati keindahan Sungai Kapuas.



Bagi pengunjung yang tertarik untuk menyusuri Sungai Kapuas dengan karifan lokal, pengunjung bisa menyewa Sampan atau Perahu kecil dengan biaya Rp 10.000/orang dengan minimal lima orang. Harga tersebut cukup murah untuk harga yang harus dibayar dengan imbalan yang diperoleh berupa pengalaman menyusuri Sungai Kapuas dengan alat tranpotasi tradisional Pontianak dan Kalimantan Barat. Jika ingin suasana menyusuri Sungai  Kapuas yang lebih ramai, pengunjung bisa naik Perahu wisata yang bersandar di alun-alun Kapuas. Selain itu terdapat juga wisata air yang disediakan oleh masyarakat setempat yaitu dengan menyewakan Kano atau perahu kecil semacam Selanjar lengkap dengan dayung plastik. Bagi pengunjung yang tidak mahir berenang juga disediakan pelampung sebagai keamanan.

     Sungai Kapuas juga menyediakan background yang indah bagi pengunjung yang ingin mengabadikan moment bersama keluarga, kerabat dan sahabat dengan berfoto bersama di tepian Sungai Kapuas. Pengunjung juga bisa menyaksikan tradisi dan kearifan  lokal masyarakat tepian Sugai Kapuas dalam melakukan aktifitasnya, seperti lalu-lalang Sampan masyarakat setempat di Sungai Kapuas, bahkan pengunjung juga bisa menyaksikan atraksi anak-anak bermain di Sungai Kapuas dengan berenang dan melakukan loncatan indah ala anak-anak tepian Kapuas.


       Dengan sarana dan prasarana yang tersedia sebagai penunjang wisata di teipan Kapuas menjadikan keunikan tersendiri. Hal ini bisa dilihat bahwa tepian Sungai Kapuas selalu ramai di datangi pengunjung di sore hari. Pengunjung dapat merasakan pengalaman baru di Sungai Kapuas dengan menyusuri Sungai Kapuas menggunakan Sampan bersama keluarga, kerabat, dan sahabat untuk mengunjungi Masjid Jami dan Kesultanan Khadriah sebagai monument sejarah Kesultanan di Pontianak. Pengunjung juga bisa mengunjungi monument Tugu Khatuliswa dengan menggunakan Sampan atau hanya sekedar menyusuri Sungai Kapuas.

       Bagi pengunjung yang takut dengan kedalaman dan air, pengunjung bisa menikmati fasilitas wisata yang tersedia lainnya. Seperti hanya sekedar menyusuri tepian Sugai Kapuas dengan berjalan-jalan santai atau dengan menyewa sepeda yang disediakan oleh penyewa di sekitar sungai Kapuas. Dengan menyewa sepeda pengunjung bisa menikmati suasana sore hari dengan bersepeda menyusuri tepian Sungai Kapuas. Selain bermanfaat bagi tubuh dengan melakukan olahraga ringan juga bermanfaat bagi rohani dengan energi baru yang bisa di peroleh dari rasa senang karena berada di tepian Sungai Kapuas.






Penulis         : Zakaria Effendi
Terbit            : 26 Februari 2021


THE BEAUFULNESS OF LESTARI BEACH IN TANAH HITAM VILLAGE, PALOH DISTRICT, SAMBAS REGENCY

THE BEAUFULNESS OF LESTARI BEACH IN TANAH HITAM VILLAGE, PALOH DISTRICT, SAMBAS REGENCY

 


Each area has its own uniqueness and natural beauty, including in Tanah Hitam Village, Paloh District, Sambas Regency. This place is an area that does not only exist in the popularity of the people of Sambas Regency but also people outside Sambas Regency. Tanah Hitam is a village located in the East Paloh Sub-district, directly adjacent to the Sajingan Besar District and East Malaysia. In this place, Malay is the most famous culture, which is also related to many tourist destinations that are able to attract tourists every day.

Lestari Beach is one of the tourist objects that quite famous and still exists from the past until now. Apart from its quite beautiful natural scenery, the location of the beach is also very strategic and easy to access, so that many people inside and outside the Sambas district tend to be interested in visiting this natural beach tourism destination. In addition, Lestari Beach has the beauty of its clean beach sand. Not everyone is able to come to the beach area because it is closely guarded by local residents. The entrance fee is affordable, which is 5000 rupiah for a motorcycle and 10,000 rupiahs for a car. This price is valid until now. Maybe, there will be an increase in prices due to the conditions of the Covid-19 pandemic.

Apart from the tourist objects, every Sunday, there is a silat (martial-art) training held by the Benteng Mukmin academy. I have seen how fighters train together on the beach. They practice every morning. What a beautiful sight when I saw their compactness. The wind and waves highlighting the shoreline made me want to join them in training. In essence, there are no words of regret when you visit Lestari beach.

Author          Ebby Abadi ( Member of the English Community Hukum Ekonomi Syariah IAIN Pontianak "The King of HES")

Photo by     Facebook, Rafi Syahputra, 2020

Publish         : February, 26th 2021

Kebudayaan Masyarakat di Sekitar Masjid Jami’ Sultan Syarief Abdurrahman Al-Kadrie

Kebudayaan Masyarakat di Sekitar Masjid Jami’ Sultan Syarief Abdurrahman Al-Kadrie

 


Masjid merupakan tempat peribadatan bagi umat Islam. Selain itu, masjid juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai tempat pelaksanaan kegiatan religius kebudayaan yang berkembang di masyarakat setempat. Berbagai kebudayaan itu tentunya akan terdapat perbedaan antar daerah. Semua ini tergantung dari kebudayaan lokal yang masih diasumsi oleh masyarakat di setiap daerah tertantu.

Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurahman Al-Kadrie memiki usia sekitar 246 tahun. Tentu ini bukan lagi usia yang muda, apalagi untuk disandingkan dengan usia Negara Indonesia yang masih sangat belia. Oleh sebab itu, wajar jika bangunan Masjid Jami’ Sultan Syarief abdurahman Al-Kadrie mengalami beberapa kali perenovasian. Dengan usia yang hampir memasuki dua setangah abad itu, tentu banyak sekali kebudayaan yang telah diwarikan dan masih dilakuakan hingga sekarang oleh masyarakat di daerah Pontinak khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar masjid.

Area masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurahman Al-Qadrie merupakan area tanah yang terpengaruh dengan pasang surut air sungai karena letaknya hanya sekitar beberapa meter dari sungai Kapuas. Jika diperhatikan, masjid ini terlihat seperti terpisah dengan keraton Kadariyah dikarenakan adanya jembatan kecil penghubung antara area keraton dan area masjid. Posisi ini seolah-olah terlihat seperti tanjung pulau yang terpisah dari lahan sekitarnya.

Menurut bapak Syarif Usman (54 tahun)  pertama kali masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dibuat sebagaimana yang dijelaskan Usman bin Abdurahman dalam tulisannya yang sampai sekarang dapat dilihat sebagai kaligrafi yang memiliki nilai estetik dan tertata juga menyimpan nilai sejarah. Kaligrafi berisi informasi sejarah berdirinya Masjid jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie berada tepat diatas mimbar. Bagi orang awam, tulisan itu hanya sebagai kaligrafi yang biasa menghiasi masjid, namun bagi seorang peneliti yang terlebih yang ahli bahasa arab akan melihatnya sebagai litesi.

Kebudayaan Masyarakat Pontianak

Menurut Van Peursen (2001: 9) kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia. Berdasarkan data hasil wawancara dengan pak Safendi sebagai ketua RT (4/11/2017) mengatakan jumlah penduduk di kampung tersebut 1260 penduduk, 467 KK,  420 RT 120 RW dan 7 kelurahan. Jika dilihat dari data yang diperoleh tersebut terlihat cukup banyak masyarakat yang menempati daerah kampung beting.  Bapak Syarif Selamat Joesoef Al-Kadrie atau yang lebih akrab disapa Abah Simon yang ditemui di rumahnya  mengungkapkan bahwa banyak sekali kegiatan yang dilakukan masyarakat di sekitar masjid. Adapun diantaranya adalah seprahan, kegiatan ini sedikit berbeda dengan tradisi saprahan yang ada di Sambas ataupun Singkawang. Dari penamaannya juga sudah menunjukkan adanya sedikit perbedaan antara tradisi seprahan di Pontianak dengan saprahan di Sambas dan Singawang. Jika Saprahan setiap orang makan dengan hidangan di dalam talam dengan anggota kelompok sekitar 5-6 orang, maka Seprahan memungkinkan setiap orang makan saling berhadapan di tempat yang sama menggunakan daun pisang yang dipanjangkan.

Sejarah kegiatan secara rutin dilakukakan masjid Sultan Syarif Abdurrahman sulit diperoleh, beberapa sumber memastikan bahwa setiap hari besar Islam dilangsungkan di masjid ini. Terutama saat perayaan maulid nabi Muhammad saw. secara turun-temurun diselenggarakan dengan berbagai kegiatan seperti arak-arakan (Kirap) dari masjid ke alun-alun keraton Kadariah, khitanan massal, pernah juga diadakan pernikahan massal sekitar tahun 1930-an.

Beberapa sumber memastikan bahwa dahulu segala kegiatan (hajat) yang dilakukan keraton Kadariyah senantiasa melibatkan kegiatan pula di lingkungan masjid. Melihat para pendahulunya yang sering dalam menyebarkan syi’ar Islam dengan berprinpsip kepada toleransi budaya yang tinggi, sangat mungkin bahwa masjid Sultan Syarif abdurahman merupakan wadah pengembangan kebudayaan Islam di masa lalu, tidak terlepas pada kegiatan peribadatan. Sekarang ini acara serupa masih dilangsungkan, terutama hari-hari besar Islam. Dan peringatan hari jadi kota Pontianak sampai sekarang masih diselenggarakan di masjid Sultan Syarif Abdurrahman, yang dihadiri oleh Walikota beserta PEMDA kota Pontianak disertai warga sekitar masjid. Selain itu pada bulan Ramadhan, masjid Sultan Syarif Abdurrahman juga menyelenggarakan kegiatan pembinaan keagamaan yang ditujukan kepada  generasi muda (remaja) yakni kegiatan “Perkampungan Ramadhan” yang dilangsungkan selama beberapa hari diawal bulan ramadhan. Serta masjid Sultan Syarif Abdurrahman membuka unit pengelola zakat yang melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat fitrah,zakat maal, infaq,dan shadaqah pada bulan ramadhan serta melakukan penyembelihan dan penyaluran hewan qurban pada hari raya idul Adha.

Selain penjelasan di atas, ada pula kebudayaan lain yang dilakukan masyarakat sekitar masjid sebagaimana yang dijelaskan oleh pak penjaga masjid, seperti minum  air berkah dan awet muda di tempayan yang berada di pojok kiri bagian belakang masjid. Terdapat dua buah tempayan yang selalu diisi oleh penjaga masjid setiap ada hujan di hari jum’at sebagai simbol keberkahan.

Kebetulan pula pak penjaga Masjid mendapat cucu perempuan yang baru seminggu dilahirkan, kemudian bayinya dibawa ke mimbar utama, berdasarkan informasi yang di dapat ternyata itu sudah menjadi tradisi bagi pak penjaga Masjid dan masyarakat sekitar masjid untuk mendo’akan kebaikan dan keselamatan bagi bayi yang baru lahir dengan memanjatkan do’a-do’a untuk si bayi. Walau demikian, tidak semua warga masih mau melakukan tradisi tersebut, karena memang setiap kebudayaan pasti akan mengalami pergeseran-pergeseran selaras dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.


Penulis        : Dayang Rusna Almuharni

Publish       : 13 Desember 2020