Kebudayaan Masyarakat di Sekitar Masjid Jami’ Sultan Syarief Abdurrahman Al-Kadrie

Kebudayaan Masyarakat di Sekitar Masjid Jami’ Sultan Syarief Abdurrahman Al-Kadrie

 


Masjid merupakan tempat peribadatan bagi umat Islam. Selain itu, masjid juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai tempat pelaksanaan kegiatan religius kebudayaan yang berkembang di masyarakat setempat. Berbagai kebudayaan itu tentunya akan terdapat perbedaan antar daerah. Semua ini tergantung dari kebudayaan lokal yang masih diasumsi oleh masyarakat di setiap daerah tertantu.

Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurahman Al-Kadrie memiki usia sekitar 246 tahun. Tentu ini bukan lagi usia yang muda, apalagi untuk disandingkan dengan usia Negara Indonesia yang masih sangat belia. Oleh sebab itu, wajar jika bangunan Masjid Jami’ Sultan Syarief abdurahman Al-Kadrie mengalami beberapa kali perenovasian. Dengan usia yang hampir memasuki dua setangah abad itu, tentu banyak sekali kebudayaan yang telah diwarikan dan masih dilakuakan hingga sekarang oleh masyarakat di daerah Pontinak khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar masjid.

Area masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurahman Al-Qadrie merupakan area tanah yang terpengaruh dengan pasang surut air sungai karena letaknya hanya sekitar beberapa meter dari sungai Kapuas. Jika diperhatikan, masjid ini terlihat seperti terpisah dengan keraton Kadariyah dikarenakan adanya jembatan kecil penghubung antara area keraton dan area masjid. Posisi ini seolah-olah terlihat seperti tanjung pulau yang terpisah dari lahan sekitarnya.

Menurut bapak Syarif Usman (54 tahun)  pertama kali masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dibuat sebagaimana yang dijelaskan Usman bin Abdurahman dalam tulisannya yang sampai sekarang dapat dilihat sebagai kaligrafi yang memiliki nilai estetik dan tertata juga menyimpan nilai sejarah. Kaligrafi berisi informasi sejarah berdirinya Masjid jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie berada tepat diatas mimbar. Bagi orang awam, tulisan itu hanya sebagai kaligrafi yang biasa menghiasi masjid, namun bagi seorang peneliti yang terlebih yang ahli bahasa arab akan melihatnya sebagai litesi.

Kebudayaan Masyarakat Pontianak

Menurut Van Peursen (2001: 9) kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia. Berdasarkan data hasil wawancara dengan pak Safendi sebagai ketua RT (4/11/2017) mengatakan jumlah penduduk di kampung tersebut 1260 penduduk, 467 KK,  420 RT 120 RW dan 7 kelurahan. Jika dilihat dari data yang diperoleh tersebut terlihat cukup banyak masyarakat yang menempati daerah kampung beting.  Bapak Syarif Selamat Joesoef Al-Kadrie atau yang lebih akrab disapa Abah Simon yang ditemui di rumahnya  mengungkapkan bahwa banyak sekali kegiatan yang dilakukan masyarakat di sekitar masjid. Adapun diantaranya adalah seprahan, kegiatan ini sedikit berbeda dengan tradisi saprahan yang ada di Sambas ataupun Singkawang. Dari penamaannya juga sudah menunjukkan adanya sedikit perbedaan antara tradisi seprahan di Pontianak dengan saprahan di Sambas dan Singawang. Jika Saprahan setiap orang makan dengan hidangan di dalam talam dengan anggota kelompok sekitar 5-6 orang, maka Seprahan memungkinkan setiap orang makan saling berhadapan di tempat yang sama menggunakan daun pisang yang dipanjangkan.

Sejarah kegiatan secara rutin dilakukakan masjid Sultan Syarif Abdurrahman sulit diperoleh, beberapa sumber memastikan bahwa setiap hari besar Islam dilangsungkan di masjid ini. Terutama saat perayaan maulid nabi Muhammad saw. secara turun-temurun diselenggarakan dengan berbagai kegiatan seperti arak-arakan (Kirap) dari masjid ke alun-alun keraton Kadariah, khitanan massal, pernah juga diadakan pernikahan massal sekitar tahun 1930-an.

Beberapa sumber memastikan bahwa dahulu segala kegiatan (hajat) yang dilakukan keraton Kadariyah senantiasa melibatkan kegiatan pula di lingkungan masjid. Melihat para pendahulunya yang sering dalam menyebarkan syi’ar Islam dengan berprinpsip kepada toleransi budaya yang tinggi, sangat mungkin bahwa masjid Sultan Syarif abdurahman merupakan wadah pengembangan kebudayaan Islam di masa lalu, tidak terlepas pada kegiatan peribadatan. Sekarang ini acara serupa masih dilangsungkan, terutama hari-hari besar Islam. Dan peringatan hari jadi kota Pontianak sampai sekarang masih diselenggarakan di masjid Sultan Syarif Abdurrahman, yang dihadiri oleh Walikota beserta PEMDA kota Pontianak disertai warga sekitar masjid. Selain itu pada bulan Ramadhan, masjid Sultan Syarif Abdurrahman juga menyelenggarakan kegiatan pembinaan keagamaan yang ditujukan kepada  generasi muda (remaja) yakni kegiatan “Perkampungan Ramadhan” yang dilangsungkan selama beberapa hari diawal bulan ramadhan. Serta masjid Sultan Syarif Abdurrahman membuka unit pengelola zakat yang melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat fitrah,zakat maal, infaq,dan shadaqah pada bulan ramadhan serta melakukan penyembelihan dan penyaluran hewan qurban pada hari raya idul Adha.

Selain penjelasan di atas, ada pula kebudayaan lain yang dilakukan masyarakat sekitar masjid sebagaimana yang dijelaskan oleh pak penjaga masjid, seperti minum  air berkah dan awet muda di tempayan yang berada di pojok kiri bagian belakang masjid. Terdapat dua buah tempayan yang selalu diisi oleh penjaga masjid setiap ada hujan di hari jum’at sebagai simbol keberkahan.

Kebetulan pula pak penjaga Masjid mendapat cucu perempuan yang baru seminggu dilahirkan, kemudian bayinya dibawa ke mimbar utama, berdasarkan informasi yang di dapat ternyata itu sudah menjadi tradisi bagi pak penjaga Masjid dan masyarakat sekitar masjid untuk mendo’akan kebaikan dan keselamatan bagi bayi yang baru lahir dengan memanjatkan do’a-do’a untuk si bayi. Walau demikian, tidak semua warga masih mau melakukan tradisi tersebut, karena memang setiap kebudayaan pasti akan mengalami pergeseran-pergeseran selaras dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.


Penulis        : Dayang Rusna Almuharni

Publish       : 13 Desember 2020


Load comments